BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
DKI Jakarta merupakan Ibu Kota Negara
Indonesia yang menjadi pusat pemerintahan, pembangunan, perekonomian dan
lainnya yang menarik para penduduk dari berbagai daerah untuk tinggal dan
datang ke kota ini. Hal ini dan perkembangan kota yang tidak seimbang
menyebabkan semakin terpinggirnya warga Betawi yang mana warga asli Jakarta.
Ini dapat menyebabkan Kota Jakarta tidak mempunyai karakter dan kekhasan
daerah. Karena itu dibentuklah Cagar Budaya Betawi yang salah satunya yaitu
Situ Babakan/ Danau.
Situ Babakan adalah sebuah kawasan
perkampungan yang ditetapkan Pemerintah Jakarta sebagai tempat pelestarian dan
pengembangan budaya Betawi secara berkesinambungan. Perkampungan yang terletak
di selatan Kota Jakarta ini merupakan salah satu objek wisata yang menarik bagi
wisatawan yang ingin menikmati suasana khas pedesaan atau menyaksikan budaya
Betawi asli secara langsung. Di perkampungan ini, masyarakat Situ Babakan masih
mempertahankan budaya dan cara hidup khas Betawi, memancing, bercocok
tanam, berdagang, membuat kerajinan tangan, dan membuat makanan khas Betawi.
Melalui cara hidup inilah, mereka aktif menjaga lingkungan dan meningkatkan
taraf hidupnya.
Kawasan huniannya memiliki nuansa yang
masih kuat dan murni baik dari sisi budaya, seni pertunjukan, jajanan, busana,,
rutinitas keagamaan, maupun arsitektur rumah Betawi. Dari perkampungan yang
luasnya 289 Hektar, 65 hektar di antaranya adalah milik pemerintah di mana yang
baru dikelola hanya 32 hektar. Perkampungan ini didiami setidaknya
3.000 kepala keluarga. Sebagian besar penduduknya adalah orang asli Betawi yang
sudah turun temurun tinggal di daerah tersebut. Sedangkan sebagian kecil
lainnya adalah para pendatang, seperti pendatang dari Jawa Barat, jawa tengah, Kalimantan,
dll yang sudah tinggal lebih dari 30 tahun di daerah ini.
Sebelumnya ada kawasan yang direncanakan
serupa yaitu di wilayah Condet, namun gagal karena seiring perjalanan waktu
perkampungan tersebut semakin luntur dari nuansa budaya Betawi-nya, karena itu
diperlukan cara yang tepat agar kawasan Situ Babakan ini berhasil
mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkan
rumusan masalah yaitu bagaimanakah penanganan dan langkah untuk pelestarian
kawasan Cagar Budaya Betawi Situ Babakan?
1.3
TUJUAN
Mendapatkan cara dan langkah yang tepat agar kawasan
Cagar Budaya Betawi Situ Babakan daya tarik wisata warga DKI jakarta dan
sekitarnya dan juga mengangkat perekonomian masyarakat sekitar.
1.4
SISTEMATIKA PENULISAN
- Latar
belakang masalah, menguraikan mengapa penulis sampai pada pemilihan topik
permasalahan yang besangkutan.
- Perumusan
masalah, memberikan batasan masalah dari hasil pengamatan dan persoalan
yang dikaji oleh penulis
- Tujuan,
menggambarkan manfaat dan hasil-hasil yang diharapkan dan penelitian ini
dengan memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti.
- Sistematika
pembahasan / penulisan, memberikan gambaran umum dan bab ke bab isi dan
penulisan ilmiah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Situ Babakan
Situ Babakan atau Danau
Babakan terletak di Srengseng Sawah, kecamatan Jagakarsa, Kotamadya
Jakarta Selatan, Indonesia dekat Depok yang berfungsi sebagai pusat
Perkampungan Budaya Betawi, suatu area yang diperuntukkan untuk pelestarian
warisan budaya Jakarta, yaitu budaya asli Betawi.
Gambar 2.1 : Situ Babakan
Sumber : ihategreenjello.com
Situ Babakan merupakan
danau buatan dengan area 30 hektare (79 akre) dengan kedalaman 1-5 meter dimana
airnya berasal dari Sungai Ciliwung dan saat ini digunakan sebagai tempat
wisata alternatif, bagi warga dan para pengunjung.
Peresmiannya Situ Babakan
sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi dilakukan pada tahun 2004, yakni bersamaan
dengan peringatan HUT DKI Jakarta ke-474. Perkampungan ini dianggap masih
mempertahankan dan melestarikan budaya khas Betawi, seperti bangunan, dialek
bahasa, seni tari, seni musik, dan seni drama.
Dalam sejarahnya,
penetapan Situ Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi sebenarnya sudah
direncanakan sejak tahun 1996. Sebelum itu, Pemerintah DKI Jakarta juga pernah
berencana menetapkan kawasan Condet, Jakarta Timur, sebagai kawasan Cagar
Budaya Betawi, namun urung(batal) dilakukan karena seiring
perjalanan waktu perkampungan tersebut semakin luntur dari nuansa budaya
Betawi-nya. Dari pengalaman ini, Pemerintah DKI Jakarta kemudian merencanakan
kawasan baru sebagai pengganti kawasan yang sudah direncanakan tersebut.
Melalui SK Gubernur No. 9 tahun 2000 dipilihlah perkampungan Situ Babakan sebagai
kawasan Cagar Budaya Betawi. Sejak tahun penetapan ini, pemerintah dan
masyarakat mulai berusaha merintis dan mengembangkan perkampungan tersebut
sebagai kawasan cagar budaya yang layak didatangi oleh para wisatawan. Setelah
persiapan dirasa cukup, pada tahun 2004, Situ Babakan diresmikan oleh Gubernur
DKI Jakarta, Sutiyoso, sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi. Sebelum itu,
perkampungan Situ Babakan juga merupakan salah satu objek yang dipilih Pacific
Asia Travel Association (PATA) sebagai tempat kunjungan wisata bagi
peserta konferensi PATA di Jakarta pada bulan Oktober 2002.
Perkampungan Situ Babakan
adalah sebuah kawasan pedesaan yang lingkungan alam dan budayanya yang
masih terjaga secara baik. Wisatawan yang berkunjung ke kawasan cagar budaya
ini akan disuguhi panorama pepohonan rindang yang akan menambah suasana sejuk
dan tenang ketika memasukinya. Di kanan kiri jalan utama, pengunjung juga dapat
melihat rumah-rumah panggung berarsitektur khas Betawi yang masih dipertahankan
keasliannya.
hal yang sangat disukai khususnya pecinta kuliner, di
perkampungan ini juga banyak terdapat warung yang banyak menjajakan
makanan-makanan khas Betawi, seperti ketoprak, ketupat nyiksa, kerak telor,
ketupat sayur, bakso, laksa, arum manis, soto betawi, mie ayam, soto mie, roti
buaya, bir pletok, nasi uduk, kue apem, toge goreng, dan tahu gejrot.
Wisatawan yang berkunjung
ke Situ Babakan juga dapat menyaksikan pagelaran seni budaya Betawi, antara
lain tari cokek, tari topeng, kasidah, marawis, seni gambus, lenong, tanjidor,
gambang kromong, dan ondel-ondel yang sering dipentaskan di sebuah panggung
terbuka berukuran 60 meter persegi setiap hari Sabtu dan Minggu. Selain
pagelaran seni, pengunjung juga dapat menyaksikan prosesi-prosesi budaya
Betawi, seperti upacara pernikahan, sunat, akikah, khatam Al-Qur‘an, dan nujuh
bulan, atau juga sekedar melihat para pemuda dan anak-anak latihan menari
dan silat khas Betawi, Beksi.
Sebagai sebuah kawasan
cagar budaya, Situ Babakan tidak hanya menyajikan pagelaran seni maupun budaya,
melainkan juga menawarkan jenis wisata alam yang tak kalah menarik, yakni
wisata danau. Dua danau, yakni Mangga Bolong dan Babakan, di perkampungan ini
biasanya dimanfaatkan oleh wisatawan untuk memancing atau sekedar bersenda
gurau dan menikmati suasana sejuk di pinggir danau. Selain itu, wisatawan juga
dapat menyewa perahu untuk menyusuri dan mengelilingi danau.
2.2
Tindakan Pelestarian
Cagar Budaya adalah
warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar
Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di
darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki
nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan melalui proses penetapan (UU RI No. 11 Tahun 2010). Terdapat
beberapa langkah dalam melestarikan Cagar Budaya yaitu:
- Pelestarian
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya,
pengertian Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan
Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan,dan
memanfaatkannya.
Dalam
Undang-Undang tersebut di atas, lembaga yang diberi fungsi
untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda,
bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau
yang bukan Cagar Budaya, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat adalah
museum.
Jika kita
menyoal pelestarian warisan kebudayaan, maka akan tiba pada pemahaman akan sisi
bendawi dan bukan bendawi dari sebuah warisan. Dalam prakteknya, pendekatan
secara holistik pelestarian bendawi dan bukan bendawi menimbulkan
kerumitan tersendiri karena kedua unsur tersebut memiliki karakter yang
berbeda. Sebuah warisan bendawi, sebut saja sebuah bangunan bersejarah, lebih
mudah untuk dikatalogisasi, lalu menerapkan tindakan-tindakan pelindungan yang
bersifat konservasi dan restorasi pada fisik bangunannya. Warisan bukan
bendawi, di lain pihak, membutuhkan pendekatan yang lebih dalam karena
melibatkan pelaku (manusia), kondisi sosial dan lingkungan yang sangat cepat
berubah bila dibandingkan dengan bangunan itu sendiri.
Keterlibatan masyarakat
atau komunitas masyarakat di sekitar warisan bendawi dalam segi pelindungan
sangat dibutuhkan, karena dalam banyak kasus, kerusakan dini yang luput dari
perhatian bermula dari ketidaktahuan atau ketidakpedulian masyarakat sekitar.
Vandalisme, penjarahan, perusakan Cagar Budaya, merupakan contoh yang nyata.
Kesulitan dalam segi
pelindungan bukan bendawi adalah manakala terdapat konsep sejarah di dalamnya.
Menurut Drs. I Made Purna, M.Si., seorang peneliti pada BPSNT Bali, dalam
memahami sejarah bangsa tercakup dua pengertian di dalamnya yaitu masa lampau
dan rekontruksi tentang masa lampau. Masa lampau hanya terdapat dalam ingatan
orang-orang (ingatan kolektif) yang pernah mengalaminya. Kenyataan ini baru
bisa diketahui oleh orang lain apabila diungkapkan kembali dengan adanya
komunikasi dan dokumentasi yang menjadi kisah atau gambaran tentang peristiwa
masa lampau.
- Pengembangan
Pengembangan,
dalam UU Cagar Budaya, adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi
Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan
Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan
Pelestarian.
Masyarakat
atau komunitas dalam masyarakat dapat secara aktif bersama-sama dengan museum
dapat terlibat dalam tahap pengembangan sebagai bagian dari pelestarian.
Penelitian ilmiah dapat dilakukan oleh berbagai pihak untuk menelisik dan
menelaah lebih lanjut tentang warisan bendawi dimaksud.
Revitalisasi
memungkinkan masyarakat menikmati fungsi asal sebuah Bangunan Cagar Budaya,
sebagai contoh sebuah bangunan bersejarah yang kini berfungsi sebagai kantor
pemerintahan. Setelah dilakukan kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan,
ternyata bangunan dimaksud merupakan fasilitas pertunjukan pada masanya. Pada
saat-saat tertentu, fungsi ini dapat dikembalikan seperti semula dengan tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai pelestarian. Demikian juga dalam soal Adaptasi,
misalnya penambahan ruangan pada bangunan tersebut sesuai dengan kebutuhan.
Unsur-unsur
publikasi Cagar Budaya dapat dikembangkan oleh masyarakat atau komunitas
masyarakat melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Publik dapat
menampilkan kegiatan-kegiatan promosi berupa pentas seni dan budaya.
- Pemanfaatan
Pemanfaatan
adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya (UU Cagar
Budaya 2010). Dalam konteks pelestarian, pemanfaatan Cagar Budaya adalah mutlak
karena merupakan muara dari pelestarian. Salah satu tujuan Cagar Budaya
dilindungi dan dikembangkan ialah agar dapat dimanfaatkan. Pemanfaatannya dapat
berupa sarana pembelajaran, pusat rekreasi seni dan budaya, tempat diskusi
dan lain sebagainya. Pemanfaatan Cagar Budaya harus ditekankan pada elemen
pendidikan karena pemahaman tentang pelestarian itu lebih efektif dilakukan
dengan pendekatan pendidikan. Pemanfaatan lainnya dapat berupa kepentingan
ilmu pengetahuan, teknologi, pariwisata, agama, sejarah, dan kebudayaan. Peran
serta masyarakat dan komunitas turut andil besar dalam melestarikan kawasan
Cagar Budaya.
- Zoning
Zoning adalah
suatu upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi dan sekaligus mengatur
peruntukan lahan, agar tidak terganggu oleh kepentingan lain yang terjadi
disekitarnya, yang oleh Callcott (1989) disebutkan bahwa zonasi merupakan suatu
cara atau teknik yang kuat dan fleksibel untuk mengontrol pemanfaatan
lahan pada masa datang (Callcott,1989:38). Pernyataan yang dikemukaan oleh
Callcott tersebut lebih di tekankan pada pengaturandan pengontrolan pemanfaatan
lahan untuk berbagai jenis kepentingan yang diatur secara bersama.
Sementara dalam zonasi cagar budaya tujuan utamanya adalah menentukan
wilayahsitus serta mengatur atau mengendalikan setiap kegiatan yang dapat
dilakukan dalam setiap zona.Dengan demikian maka zonasi cagar budaya yang
dimaksud dalam hal ini, memiliki cakupanyang lebih sempit dibanding dengan
pengertian yang dikemukakan oleh Callcott, namun memperlihatkan persaman antara
satu dengan yang lainya, yaitu masing-masing mengacu pada kepentingan
pengendalian dan pemanfaatan lahan agar dapat dipertahankan kelestarianya.
Zoning sangat penting contohnya saja jika cagar budaya berada dalam kawasan
kota, maka ancaman terbesarnya adalah aktifitas pembangunan kota yang
tidak mengindahkan peraturan pelestarian cagar budaya. Oleh karena itu,
penentuan strategi zoning harus bersifat aplikatif dan diupayakan dapat
mengakomodir berbagai kepentingan.
Zonasi
terhadap situs cagar budaya ini harus dilakukan dengan perspektif yang luas
untuk dapat menetapkan suatu sistem penataan ruang yang bijak dengan tetap
berpegang pada prinsip pelestarian tanpa merugikan pihak manapun. Hal ini
menjadi signifikan mengingat cakupan zonasi cagar budaya biasanya meliputi sebuah
wilayah yang cukup luas. Dengan demikian penentuan batas zona harus
mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara luas.